1/11/2009

MK Rampas Peradilan Umum?

KEPUTUSAN MK membatalkan kemenangan Dirha dan meminta KPU BS menggelar Pilkada ulang tanpa keikutsertaan Dirha, dinilai kuasa hukum KPU BS Usin Abdisyah Putra SH sudah melampaui batas kewenangan MK selaku lembaga hukum yang menangani sengketa Pilkada. Padahal berdasarkan Peraturan MK No 15 Tahun 2008 yang ditangani MK adalah soal selisih suara.
Tetapi ternyata yang dipersoalkan dalam pertimbangan hakim adalah status Dirwan Mahmud yang pernah menjadi narapidana di Lapas Cipinang, keluhnya.
Usin mengatakan persolan administrasi calon adalah wewenang peradilan umum yaitu PTUN, bukan ranah MK. Dengan memutuskan Dirwan Mahmud tidak memenuhi syarat administrasi, MK sudah merampas hak peradilan umum yang mestinya memutuskan sah atau tidaknya Dirwan mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
Kalau memang MK berpendapat Dirwan pernah menjadi narapidana, MK tidak bisa memutuskan Dirwan tidak sah menjadi calon. Tetapi hal itu mesti dibuktikan terlebih dahulu melalui PTUN, baru PTUN yang memutuskannya SK KPU itu batal bukan MK. Kalau MK yang memutuskan maka kewenangan PTUN sudah dilangkahi, sesal Usin.
Selain itu, kata Usin yang janggal adalah diktum putusan MK yang menyatakan Roy Irawan adalah Dirwan Mahmud hanya dengan keterangan saksi dan bukti berupa surat dan foto. Sementara salinan putusan dari PN Jakarta Timur tidak dilihat oleh hakim MK.
Memang dalam putusan, keyakinan hakim merupakan sumber hukum. Tetapi semestinya untuk menguatkan hal itu harus ada berpatokan dengan hukum legal formal. Contohnya salinan putusan PN Jatim mengenai vonis yang dijatuhkan kepada Roy Irawan dan pembuktian bahwa apakah benar Roy Irawan adalah Dirwan Mahmud, katanya.
Begitu juga dengan diktum menimbang yang dibuat MK, sangat kontra produktif dengan putusan. Disatu sisi dalam pertimbang mereka bahwa apa yang dilakukan oleh KPU BS dalam melakukan tahapan penjaringan Pilkada BS sampai penetapan sudah melalui proseder dan aturan yang berlaku, tetapi di satu sisi pada putusan KPU dinilai lalai melaksanakan tugas untuk menyeleksi administrasi calon. Kemudian, MK juga tidak mempertimbangkan pendapat 39 ribu masyarakat Kabupaten BS seperti yang mereka lakukan pada pertimbangan sengketa Pilkada Jatim. Sehingga, MK juga dinilai sudah merampas hak-hak rakyat BS.
Jadi kita menilai keputusan MK ini adalah preseden hukum yang buruk bagi lembaga peradilan MK, yang melangkahi wewenang lembaga lain. Yang membuat kita sakit dan tidak bisa berbuat, keputusan ini bersifat final dan mengikat. Sehingga tidak ada upaya lain dari kita untuk berbuat, ujar alumnus FH Unib ini.(**)

Tidak ada komentar: