Tampilkan postingan dengan label curhat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label curhat. Tampilkan semua postingan

8/25/2010

Kecil Itu Besar

Dulu, waktu SD kelas IV aku dikenalkan guru kelasku dengan pepatah; Sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit. Waktu itu, aku ingat pepatah ini berlaku bagi kami yang dianjurkan untuk menabung. Saat itu pula, diajarkan tentang pengertian hemat dan kikir. Hmm.. Masa kecil memang menyenangkan. Meski hidup sederhana, tapi setidaknya beban pikiran tak seperti saat ini.

Sekilas masa kecil akan tetap terkenang indah. Karena kita harus sadar betul, tak ada satupun yang tidak berawal dari kecil. *) sambil mikir, ada ga ya yang ga da kecilnya? Hehe.. Kalaupun ada, aku yakin kesannya tak akan natural. Karena semua butuh proses, dan proses butuh waktu. Begitupun dengan alam semesta. Tentu Alquran juga menjelaskan toh, proses penciptaan alam semesta ini.

Awal, proses dan hasil. Ketiga komponen itu saling berkaitan dan sama-sama memiliki ikatan satu sama lain, tak dapat dipisahkan. Jika awalnya baik, didukung dengan prosesnya baik pula, Insya Allah hasilnya juga akan baik. Namun jika awalnya kurang baik, semoga kita termasuk kepada golongan orang-orang yang husnul khotimah. J

Menurutku, hal besar dalam hidup adalah ketika kita bisa mencapai harapan dan cita-cita dengan proses disertai kerja-kerja berat. Jadi ingat ungkapan Proklamator RI, Ir Soekarno di dalam bukunya “Dibawah Bendera Revolusi” bahwa tidak ada kemenangan paling indah, selain kemenangan setelah dituntaskan dengan kerja-kerja berat.

Jika kita mau menggelitik hati kita lebih dalam, tak ada kerja-kerja berat selain melakukan hal-hal kecil dan memiliki hasil yang kecil juga. Namun karena tadi kita sudah menyamakan persepsi bahwa segala sesuatu harus diawali dengan hal-hal kecil, tentu mengerjakan yang kecil memang merupakan suatu proses yang mesti dilalui.

Seperti pepatah yang kuperoleh dari guru saat aku duduk di bangku SD tadi, kita harus sama-sama meyakini, sesuatu yang kecil jika dikumpulkan akan menjadi besar. Satu hal yang juga mesti kita sadari, proses pengumpulan itu tentu memakan waktu. Untuk itu, kita dituntut istiqomah dan bersabar serta meyakini tak akan ada pekerjaan baik sedikitpun yang tidak ada manfaatnya. Untuk itu, peran ikhlas dalam mengerjakan sesuatu juga mesti ada. Karena jika tak ada keikhlasan, hal kecil sekalipun akan terasa berat. Begitulah kaitannya.

Kesimpulannya, tak ada salahnya kita mengidam-idamkan sesuatu yang besar, tapi prosesnya mesti dilalui dengan sempurna. Karena belum tentu kita termasuk kepada golongan orang-orang yang husnul khotimah. Hehe.. :)

Mari kita mengumpulkan pasir-pasir di pantai dan mari menghitung rintik hujan. Jangan sampai, karena mengharapkan burung yang sedang terbang tinggi, tapi punai di tangan dilepaskan. Bukankah punai juga salah satu nama dan jenis burung?! Hmm.. :)

Wallahu'alam Bishawab.. (**)

Arga Makmur, 25 Agustus 2010

MENIKAH? Ya, Menikah..

Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (An Nuur:32)

MENIKAH. Sepintas, kata ini sederhana. Harapan setiap mereka yang belum bertemu jodoh, bahkan banyak pula yang sudah menikah bermaksud untuk menikah lagi. Jika dilihat dari kacamata ini, menikah tak lebih kepada sifat manusiawi. Artinya, setiap manusia normal dia berminat dan bercita-cita untuk menikah. Kalaupun saat ini belum, tentu ada alasan-alasan konkrit, sehingga pernikahan belum dapat dia lakukan.
Meski demikian, jangan pula teman-teman menganggap bahwa statemen diatas merupakan suatu alibi bagi saya, dan saya-saya yang lain yang kebetulan masih melajang. Hehe..
Beberapa ayat dalam Alquran mengatur soal menikah. Diantaranya, seperti surat An-Nuur di atas. Dengan demikian, sejatinya menikah bukan hanya bersifat manusiawi. Melainkan suatu keharusan bagi mereka yang dianggap telah mampu untuk melakukannya (jika akan lebih banyak mudharatnya, maka diwajibkan untuk menikah). Pada dalil lain disebutkan, jika merasa belum mampu maka diharuskan bagi kita untuk berpuasa, menahan diri dari kesucian.
"Wahai para pemuda, siapa saja diantara kalian yang telah mampu untuk kawin, maka hendaklah dia menikah. Karena dengan menikah itu lebih dapat menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barang siapa yang belum mampu, maka hendaklah dia berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu bisa menjadi perisai baginya" (HR. Bukhori-Muslim)
Bicara soal kemampuan, tentu tolok ukurnya berbeda-beda. Setidaknya ada beberapa faktor yang mempengaruhi sehingga seseorang bisa dikategorikan sebagai orang yang mampu. Hanya saja, setidaknya unsur tersebut harus mewakili soal mental, materi. Singkatnya, siap lahir bathin. Meskipun sebenarnya seperti yang dijelaskan dalam Surat An-Nuur ayat 32 tadi, sebenarnya soal kemampuan juga sudah diatur dan kita wajib percaya bahwa Allah SWT akan membuat kita mampu.
Lalu, apa yang membuat kamu ragu untuk menikah Ndri?
Hmm.. Tak ada ragu sedikitpun. Entah ini hanya alibi, atau justru kebenaran hati, saat ini keinginan untuk menikah sebenarnya sudah terpatri. Apalagi pada usiaku yang keduapuluhenam ini, aku kerap bertemu dan kembali berkomunikasi dengan teman-teman lama yang rata-rata sudah punya momongan. Tapi ada juga lho, yang masih melajang sepertiku. Tak diketahui persis apakah alasannya belum menikah sama denganku atau tidak. :)
Sebelumnya, maaf jika ungkapanku ini salah.
Menikah bagiku tak sesederhana kata yang hanya terdiri dari 7 susunan abjad. Jika dikehendaki-Nya, aku berniat hanya ingin menikah satu kali dalam seumur hidup. Beranjak dari niat inilah, tentu keinginan untuk mencari yang sesuai dengan hati, jelas ada. Kurasa ini manusiawi. Meski kita harus yakin kesempurnaan itu hanya milik Allah, namun setidaknya kesamaan jiwa harus menjadi motivasi dan berkaitan erat dengan keyakinan hati. Inilah problemnya.
Menemukan, tak beda rumitnya dengan mencocokkan. Bertemu, lalu cocok. Itulah idealnya. Butuh waktu memang. Sampai kapan? Pertanyaan ini tak hanya aku yang mempertanyakan. Beberapa teman, bahkan beberapa anggota keluarga juga sering mempertanyakan soal waktu ini. Tapi jujur saja, pertanyaan mereka kadang sulit untuk kujawab. Bagaimana mau memberikan jawaban, sementara aku sendiri tak mengetahui apa jawaban sebenarnya.
“Secara aku juga normal Bang, aku juga kepengen punya istri, punya anak yang lucu dengan senyumnya yang bikin gemes,” begitulah berkali-kali aku memberikan jawaban kepada seorang teman, sekaligus abang bagi kami yang berusia lebih muda.
Jika saat ini kita (bagi yang masih lajang) sudah menemukan ada kecocokan, tentu ada suatu harapan untuk mewujudkan keinginan suci, menikah. Entah itu kapan, namun usaha untuk menuju tujuan bukanlah suatu kesalahan. Sebab aku juga yakin dan berserah, soal waktu biarkan saja Allah SWT yang menentukan. Kalau ditanya secara pribadi, siapa sih yang tidak mau kearah kebaikan? Tentu ingin sesegera mungkin bukan?! Namun lagi-lagi, aku menyerahkan seutuhnya kepada-Mu ya Allah.. Karena hanya pada-Mu aku berserah, meminta dan tiada kekuatan apapun, selain Engkau sang Maha Kuat. (**)
*) Berpikir, kapan ya aku menikah? Mau donk.. hehe.. (semoga dia membuka hatinya, sehingga hidup ini akan lebih terhayati)
Arga Makmur, Jelang Sahur, 24 Agustus 2010

Indahnya Harapan..

BISA dibayangkan betapa suntuknya hidup ketika tak ada harapan. Semuanya terasa hambar, tak ada yang ditunggu dan tak ada pula semangat untuk hidup. Bicara soal harapan pula, bathin kita kerap membayangkan sebuah perjuangan untuk menggapai harapan dimaksud.

Harapan. Sebuah keinginan yang belum bisa digapai. Tentu, untuk menggapai harapan tersebut butuh perjuangan dan waktu.

Mari Teguh, seorang motivator kondang dan diidam-idamkan jutaan ummat pernah bilang, keberhasilan anda bukan diukur dari apa yang anda dapatkan, melainkan seberapa besar perjuangan dan apa yang telah anda lakukan untuk keberhasilan itu sendiri. Sedikit bingung sih, tapi ya begitulah idealnya. Karena hidup ini permainan Allah SWT. Sementara kita hanya menjalani trek yang telah disediakan. Muaranya, ya surga dan neraka. Bukan begitu? J

Balik lagi ah ke harapan.

Tak berlebihan kan jika saya berpendapat, harapan itu adalah motivasi. Dengan harapan, kemudian akan timbul semangat perjuangan. Lalu, bagaimana jika setelah berjuang mati-matian (versi kita) ternyata keinginan tak juga tercapai? Hmm.. Ini problem menurutku.

Kesungguhan memang bukan ibarat angka. Tak bisa ditakar. Kadang kita sudah merasa maksimal, namun ternyata belum. Ada juga kalanya kita merasa biasa saja, tapi sebagian orang berpendapat, kita sudah maksimal. Begitulah penilaian, abstrak. Karena hidup, bukan matematika. Dengan begitu, wajar saja jika ada penilaian berbeda dan tak ada kebenaran hakiki yang bisa kita dapat di dunia. (Lho, kok jadi melebar ke kebenaran? Hehe..)

Sedikit mengupas statemen Mario Teguh sebelumnya, aku menafsirkan yang dimaksud sang motivator adalah hidup adalah ibadah. Jadi, bersungguh-sungguhlah (menurut kita) pada setiap pekerjaan yang kita lakukan, apapun itu. Sebab jika kita sudah bersungguh-sungguh namun hasil tak sesuai dengan harapan, kupikir ada sebuah kepuasan bathin yang kita dapat. Kepuasan arti sebuah perjuangan, dan mengajarkan kepada kita bahwa tidak setiap keinginan yang kita harapkan, dapat terkabul. Jika sudah begini, orang kerap menilai konsep diri seperti ini dikategorikan sebagai kedewasaan. Tapi tak hanya itu, dengan berpikir cerdas dan menyerahkan segala sesuatunya kepada Allah SWT, konstelasinya bagi ummat Islam ada pada Rukun Iman. Ya, Iman kepada Allah SWT. Bahwa tidak ada kekuatan apapun, selain kekuatan Sang Pencipta. Hmm.. J

Di penghujung tulisan ini, mari kita terus berharap. Teruslah berharap, dan teruslah berjuang. Jika mau jadi orang baik, lakukanlah hal yang baik-baik pula. Jangan karena ada lagu dengan judul Berhenti Berharap, lalu kita benar-benar berhenti. Karena harapan itu indah teman, seperti harapan ketika kita menunggu bedug berbuka puasa. Jika sudah waktunya berbuka, tentu nikmat bukan? Itulah yang disebut dengan Indah pada Saatnya. J

Arga Makmur, 22 Agustus 2010

Indah Tak Terperi

Alhamdulillah, hari ini hari ke-13 bagi kita ummat Islam berpuasa. Menahan dari segala hawa nafsu yang biasa kita lakukan di bulan-bulan lain, selain Ramadhan. Bersyukur juga, kita masih diberikan kesempatan untuk menikmati damainya Ramadhan tahun ini. Padahal, tak ada satu garansi apapun yang kita dapatkan untuk tetap bisa menikmatinya. Inilah salah satu kemurahan Allah SWT. Tidak seperti perusahaan-perusahaan jasa yang kerap memberikan garansi dalam limit waktu tertentu sebagai iming-iming dan jualan iklan.

Namun apakah pernah terpikir, bagaimana jika Ramadhan tahun ini adalah Ramadhan terakhir bagi kita? Karena rahasia itu tidak ada yang tahu teman. Tak satupun yang mengetahuinya. Namun demikian, semuanya telah tersusun dan terprogram protect di server lauhul mahfuz.

Mari kita membayangkan, Ramadhan tahun ini adalah Ramadhan terakhir bagi kita. Sebab bisa jadi, kita tak bisa lagi menikmati indahnya Ramadhan tahun depan. Bahkan siapa tahu, ternyata hari ini adalah hari terakhir kita berpuasa. Karena besok mungkin malaikat maut menjemput kita. Subhanallah, sungguh semuanya menjadi rahasia Sang Pencipta.

Jika saja hari ini dan atau bulan ini adalah Ramadhan terakhir bagi kita, tentu yang terbayangkan bagi saya saat ini adalah bersungguh-sungguh menjalankan ibadah kepada-Nya. Kita akan merasa betah berlama-lama dan bermesraan dengan Allah SWT dalam dzikir panjang. Karena kita tak mengetahui rahasia itu, lalu apakah salah jika kita kembali mengorek hati nurani untuk lebih khusuk beribadah kepada-Nya.

Beberapa saudara kita, lebih tua, sebaya dan bahkan lebih muda umurnya di dunia dengan kita beberapa bulan menjelang Ramadhan dan saat Ramadhan tahun ini dipanggil keharibaan-Nya. Lalu, apakah ini tak menjadi pelajaran bagi kita?! Sementara sebelum dipanggil, saudara kita tadi tak ada ubahnya dengan kita. Bercanda, bahkan mungkin saling ejek. Hmm..

Allah maha mengetahui apa yang kita perbuat, bahkan dalam hitungan detik sekalipun. Jika seorang Aristoteles sekalipun tak bisa menebak hati seseorang, tentu tidak dengan Allah SWT. Kita berada di tempat terang dan terbuka atau berada di tempat gelap, tanpa cahaya dan ruangan itu kembali ditutup berlapis-lapis ruang tanpa cahaya sekalipun, Allah tak pernah merasa kesulitan untuk mengetahui setiap tindak-tanduk kita.

Sungguh tak ada satu amal dan dosa pun yang mampu terlewat dalam setiap catatan-Nya. Apakah kita masih ragu? Terkadang, syaithon sungguh halus mengacak-acak hati kita. Kita yang kadang merasa sudah benar, tanpa kita sadari ternyata perbuatan kita adalah salah besar. Yakinlah teman, hidup ini berawal dari segumpal darah dan tergantung dengan segumpal darah pula. Jika segumpal darah itu baik, maka Insya Allah semuanya akan baik pula. Begitu juga sebaliknya.

Mari kita kembali menata hati. Belajar ikhlas, dan hanya berpasrah kepada-Nya. Jadi ingat dengan lagunya Aa’ Gym, Jagalah Hati J Sungguh segumpal darah itu adalah hati. Dengan menjaga hati, itu berarti kita menjaga kehormatan dan menjaga hidup untuk akhirat. Hidup kita akan merasa tentram dan nyaman jika hati bisa dijaga. Jaga hati, dan mari nikmati keindahan tak terperi. (**)

8/20/2010

Titik Nadir

Ya, titik nadir. Istilah ini biasanya digunakan untuk menggambarkan sisi tergelap dari perjalanan hidup seseorang. Titik nadir kerap juga diartikan dengan bagian dari kepingan-kepingan sepi dan keterpurukan. Begitulah titik nadir dalam konteks perasaan.


Manusia memang hanya bisa berencana. Berusaha diiringi doa dengan menyerahkan sepenuhnya kepada Sang Khalik, pemilik semesta alam. Jika kita sedang berada pada titik nadir, sabar dan ikhlas merupakan kunci dan jurus pamungkas. Klasik memang. Namun apakah kita pernah berpikir, jika tidak sedang berada di titik ini terkadang sabar dan ikhlas hanya menjadi dua kata yang tak begitu bermakna. Jangankan hanya untuk menelaah lebih jauh maknanya, terkadang mengingat Allah saja kita bermalas-malasan. Naudzubillah summa naudzu billahi minzalik.

Ya, inilah cara Allah SWT mengingatkan hambanya untuk tetap berada dalam keimanan. Bersyukurlah bagi kita yang diberikan peringatan atas kejadian yang tak kita kehendaki. Karena dengan cara ini, Allah ingin mengingatkan kita untuk kembali bermunajat. Mungkin saja, selama ini aktivitas duniawi kerap membuat lupa kepada Sang Pencipta.

Layaknya hidup, seperti roda katanya. Kadang dibawah, kadang ditengah-tengah, kadang juga kita sedang diatas. Permainan itu hanya milik Allah. Kita hanya bisa berusaha untuk tidak berada pada posisi yang tak kita kehendaki. Namun jika sudah berdoa dan berusaha untuk tidak berada pada posisi tak nyaman, jangan pula lalu kita menyalahkan Allah. Terkadang, kita kerap alpa ketika doa dan usaha belum dikabulkan. Bisa jadi Allah SWT telah mengabulkan doa kita dengan tidak memenuhi permintaan kita. Sebab Allah maha mengetahui setiap sisi mudharat yang akan terjadi jika permintaan kita dikabulkan.

Sungguh Allah SWT senang ketika kita merengek dan meminta kepada-Nya. So, dengan begitu tentu tak ada yang sia-sia kan? Bukankah tidak Dia ciptakan kita, selain untuk beribadah kepada-Nya? Meski pahala dan dosa bukan urusan kita, namun tentu kita tahu secara syariat, ketika kita berbuat baik maka imbalannya adalah pahala. Sekali lagi, TAK ADA YANG SIA-SIA.

Terakhir, berserahlah kepada-Nya. Sekecil apapun urusan itu, Allah maha mengetahui dan sebesar apapun problem yang kita hadapi, Insya Allah akan terasa ringan jika kita mencoba ikhlas dan sabar dengan menyerahkan sepenuhnya keputusan kepada Sang Khalik, pemilik alam semesta.

Ini hanya nasehat untuk diri pribadi teman, namun jika mengena dan dirasa berguna, tulisan ini tak lebih dari sebuah sharing. Semoga kita senantiasa diberikan rahmat dan keridhoan-Nya. Yuk, kita belajar ikhlas. Karena hidup adalah belajar, tentu tak ada kata terlambat bukan? Dengan mencoba ikhlas, itu juga berarti kita juga telah menuju bijak. Bijak pada diri, sabar pada setiap temuan dalam perjalanan hidup.

Barakallahu laka wa baraka 'alaik, wa jama'a bainakuma fi khair.. ^_^

Arga Makmur, 06.00 WIB 20/8/2010

6/27/2010

Hujan; Sahabat Mantan Kekasih

AKU menemukan setitik harapan ketika senja dibalut rinai. Ruang hampa seakan terisi saat kabar menyeringai tentang perasaan awal dari beradu pandang dan semua tentang hidup ketika jalan takdir mempertemukan kita kala itu. Batas sepi telah terkotak dengan tapal kehidupan masa depan membentang. Aku hidup, kembali mulai mengeja satu per satu mimpi yang sempat terlewati karena galau. Ya, karena kau ada di sini. Bersamaku, menghitung rintik hujan setiap senja tiba.
Kita hidup dalam satu musim, hujan. Mungkin dengan kesamaan itu, kita lebih mengerti atas sikap yang diperagakan. Layaknya hidup, sandiwara memang. Aku yakin kita memiliki peran berbeda, tapi saling melengkapi. Jika kemudian satu diantara tulang rusukku itu adalah kamu, keikhlasan sebenar sudah terpatri ketika detik pertama aku melihat keriting rambutmu.
Tulus, selayaknya setiap kata yang kau ungkapkan menjelang keberangkatanmu. Beberapa tanggal kemudian terlewati, hingga kemudian rindu membuncah. Meski asing, aku tak merasa terasing. Karena ternyata rasa itu juga kau rasakan seiring gelap kemudian berganti terang, dan begitu seterusnya.
Inilah aku. Aku yang mencoba untuk yakin bahwa yang mencari akan menemukan, dan yang pergi akan kembali. Membenarkan setiap sisi kesalahan dan mencoba untuk percaya kepergianmu memang akan kembali untukku. Sementara aku telah menemukanmu diantara pekat, pahit dan keterasingan masa lalu.
Hadirmu menyejukkan hati. Begitu selalu ku enduskan pada setiap nafas, tepat di sisi telinga kananmu. Tentu kau masih ingat bukan? Hari-hari itu memang indah.
"Jika kemudian kau adalah pendampingku, ku harap hatimu tetap terjaga. Dan biarkan selamanya tangan ini selalu ada di pundakmu," begitu katamu. Itulah alasan lain yang kemudian membuat aku percaya, pertemuan kita adalah awal dari perjuangan hidup, selain karena keriting rambutmu.

***

Musim kini berganti. Kepergianmu juga telah membuat perbedaan masa dan musim yang selama ini kita jalani bersama. Tetap hujan, namun kali ini petir menyambar. Suara teduh kemudian berganti gaduh dan kita tak lagi bisa saling melengkapi. Mungkin aku telah keliru meluruskan tulang rusuk itu. Keliru, dan kesalahanpun sampai saat ini tak penting untuk diperjelas. Karena memang pengadilan itu ternyata tak ada. Tentu jika ada, aku akan mencari advokat kondang untuk memperjuangkan perasaanku kala itu. Tapi gelap tetaplah gelap, begitu juga dengan terang. Karena aku yakin, duka kita sekalipun tak akan menghalangi terbitnya matahari esok. Bagiku, bersamamu hanya sekeping perjalanan hidup yang masih terus berlalu dan tak seorang pun tahu kemana, dan apa muara sebenarnya.
Rien, kuakhiri kebersamaan denganmu. Ternyata kita hanya berada pada satu garis dalam semusim. Semoga kau bisa menjalani setiap konsekuensi pilihanmu.

***

Rumit memang untuk menyatukan perbedaan. Dengan alasan itu pula terkadang sendiri itu nyaman, meski harus diakui kadang sepi menyapa saat sela waktu jenuh. Aku tetap survive. Kembali merangkai benang dan bercinta dengan logika. Bukankah indah akan tiba pada saatnya? Pencarian kadang memang butuh waktu dan melelahkan.
Adalah sebuah pertemuan tak terduga. Aku yakin ini juga merupakan sebentuk kepingan hidup yang entah akan berujung apa. Tentu jika dia ibarat pohon randu, maka kapuk akan bertebaran ketika kulitnya mulai layu dan tak mampu menahan desakan keinginan untuk terbang bersama angin.
"Ya, masih ingat. Dulu, Rien banyak bercerita tentangmu," katanya datar, gadis berkerudung hitam itu kemudian melemparkan senyum.
"Dulu, mungkin iya. Kini aku hanya mampu menghitung rintik hujan sendiri, tentu tak banyak yang kudapat. Bagaimana dengan arjunamu, kabarnya dia baru saja lulus perwira?" aku menyela membalas senyum sedikit geli dengan kata-kataku sendiri.
"Hmm.. Sudahlah, ternyata waktu hujan memang tak selalu sama. Logika kita terkadang tak sama dengan apa yang dipikirkan orang lain. Enam bulan lalu, dia memilih untuk pergi dari kehidupanku," dia mencoba tetap tampak tegar.
Aku merasakan ada kesedihan tersendiri ketika lirihmu seakan putus asa. Embun, begitu kau akrab kusapa. Aku mengenalmu justru dari Rien, sebuah nama tentang masa lalu yang mengajarkan aku tentang perjuangan dan keinginan yang tak dapat diraih. Embun, perempuan berkerudung dengan tutur kata lembut menyejukkan.
Rien dan Embun memang sempat akrab. Mereka satu kampus dan sering menghabiskan waktu bersama. Tapi kemudian waktu menjawab keakraban mereka karena Rien memilih untuk menikah, setelah beberapa tahun melepas cerita denganku. Selanjutnya, mereka kemudian disibukkan dengan aktivitas masing-masing. Begitu juga denganku.
Embun masih berdiri dibawah teduhnya balkon ruko dan mencoba untuk tampak akrab denganku setelah sekian tahun kami dipisahkan waktu. Gerimis kala itu. Di sudut kiri kami, tampak ibu-ibu penjual gorengan dengan seorang anak gadisnya yang mencoba melayani setiap pembeli berpayung.
Hening, hanya titik gerimis yang kemudian berubah menjadi butiran hujan diiringi riuh lalu-lalang kendaraan. Sementara itu, aku mencoba untuk melepaskan kepenatannya atas masa lalu dengan menggiring langkahnya menuju pondok gorengan pada pojok terminal. Kami kemudian larut dalam cerita. Tawa dan keakraban pun mulai tampak ketika tanpa ragu aku mencoba menggodanya sembari memanggil dengan sapaan Zaskia.
"Mirip sih. Boleh ya, mulai sekarang aku panggil kamu Zaskia, tapi tanpa Adya Mecca, gimana?" kelakarku sembari tertawa lebar.
"Enak aja. Potong tumpeng tau, ganti nama orang sembarangan," Embun membalas tawaku dengan senyum terindah.
Meski terdengar keberatan, tapi aku yakin sebenarnya Embun senang ketika aku panggil Zaskia. Jadilah mulai saat itu panggilan Zaskia melekat padanya, dan itu hanya aku yang memanggil.

***

Tak sedikit terlintas. Ternyata pertemuanku dengan Zaskia di pondok gorengan itu adalah sebuah awal dan akhir pertemuan di kota ini. Sebab beberapa bulan kemudian dia harus pulang ke kotanya setelah rampung menyelesaikan kuliah dan resmi menyandang gelar sarjana. Dia tak sempat berpamitan langsung karena mengaku buru-buru dan dijemput keluarga. Aku juga mengetahuinya setelah dia mengirimkan pesan ke handphone dan mengatakan, saat itu dia sudah berada di kota kelahirannya.
Bagiku tak masalah. Karena komunikasi selama ini sudah cukup membuktikan ada perasaan lain, setelah pertemuan itu. Meski jauh, kami tetap saling memberi kabar diantara kesibukan.
Berat sebenarnya ingin kuungkapkan kalau aku menaruh simpati pada Zaskia. Hanya dorongan keinginan dan harapan cukup kuat seakan memaksa, hingga kemudian aku beranikan diri tuk menyatakan apa yang sebenarnya selama ini aku pendam. Aku jatuh hati pada Embun, ya Zaskiaku.
"Aku bukan sosok Rien, dan aku tak jamin bisa menemanimu menghitung rintik hujan seperti dia," ujar Zaskia di ujung telepon.
"Tapi setidaknya kau hadir pada waktu tepat. Saat keterasingan dan bara api itu mulai padam karena hujan," aku kembali meyakinkan.
"Tapi semuanya sudah terlambat. Rien telah mengisi hatimu lebih dulu, dan aku bukan dia. Kamu harus tahu itu."
"Lalu apakah sesuatu yang terlambat tak perlu dimulai? Semua telah ku perjelas, telah rampung dalam setiap kata. Mengalir dalam mata hati yang berbuah ketulusan. Masihkah kau ragu Zaskiaku?."
Hanya diam, dan aku yakin diam ternyata bukanlah jawaban. Karena memang dia masih benar-benar ragu.
"Jarak yang tak mungkin membuat kita bersama," katanya kemudian.
"Bukankah niat adalah awal? Jika niat sudah terpatri, ku yakin semua akan ada cara," ujarku tak mau kalah.
Aku masih mencoba untuk meyakinkan Zaskia, bahkan berbulan-bulan itu terjadi. Hasrat ingin melukiskan rindu tak dapat kucegah. Namun bagaimana bisa kulukiskan rindu jika kanvas di hatinya masih enggan dia buka. Bagaimana pula aku akan datang menjemputnya, jika sedetik saja berlalu dia kembali ragu.
Aku mengenalnya lewat syair, kisah raut wajah segala harap tentang hidup dan mati. Aku mengaguminya karena pikiran dan kegigihan, memberi suatu pelajaran tentang perjuangan. Kini, esok dan akan datang. Meski jauh dan mungkin bukan untukku, semua telah terpatri indah. Hanya hayat dan semangatnya yang mampu membangunkan dari lelap galau.
Desir angin pagi itu adalah getah musim di akhir Juni. Meleleh pada akar masa lalu dan bersarang muasal pada nista terindah. Setidaknya, dengan mengenal Zaskia aku telah melangkah dan meninggalkan masa lalu. Meski ku yakin tak selamanya jalan itu lurus. Kupasrahkan segala asa di setiap relung hati, ku tumbuhkan suburnya rindu dan kupinang dia yang ku datangi pada setiap helai nafas. Bercerita tentang keindahan, hingga senja perlahan lindap dan hujan menyegarkan. Karena aku yakin, ketika hujan ada lagu yang hanya bisa didengar oleh mereka yang rindu.

***

Hari ini, hujan kembali menggelitik gelisah. Menderu seperti ombak menghempas pasir putih di pantai perawan. Sementara aku terdiam di salah satu bangku bis tua yang akan menghantarkanku ke kotamu, Zaskiaku. Haru, penuh harap. Tak kuhiraukan sekelebatan pecahan-pecahan air yang menyentuh dinding kaca bis yang seakan merembes mengenai wajah. Tubuhku terpaku pada jendela serambi mobil. Butir-butir air itu terus turun, musim hujan kali ini serasa menghentakkan. Menekan batin meronta, mencoba merengkuh sang perempuan yang mulai getir karena dingin.
Kaukah perempuan itu Zaskiaku? Hadir di relung hati, menyibak sepi dan mencoba membuka mimpi. Hidup di tengah-tengah keramaian, namun jiwamu tetap damai. Menawarkan relung demi relung harap dan berkomitmen melihat keindahan serta hadapi duka bersama. Semoga saja.
Apapun keputusanmu saat aku tiba di halaman, setidaknya aku sudah siap dan yakin karena Tuhan selalu punya cara bagaimana pertemuan terjadi, begitupun Dia juga punya jalan perpisahan ketika harus terjadi. (**)

Arga Makmur, 02.51 WIB, 24 Juni 2010

12/10/2009

Mengeja Malam

Malam kini semakin larut, selarut hati akan gundah dan tak tau apa yang digundahkan. Jika ini sebuah kesalahan, maka salahlah aku. Namun yang pasti, tenang itu tak kudapatkan. Entah apa yang terjadi diluar sana, mencoba meraba, mereka-reka, namun semua tetap abu-abu..
Hanya Engkau sang penguasa alam yang tau akan kegundahan dan kegalauanku.. Sementara aku sendiri tak mampu mengejanya..
Larut, semakin hening..
Aku masih saja mencoba untuk tenang.. Sedangkan raga tak mampu menari tuk tinggalkan sepi.. Terbawa suasana akan lagu? tak mungkin, lagu galau itu selalu kusenandungkan ketika bahagia sekalipun..
Aneh memang, ini hampir terjadi hampir sepekan.. Rindu? mungkin iya, tapi adakah rindu itu bertuan? aku juga bingung mau menempatkan kata itu kepada hati yang mana. Adakah hati yang sanggup menampung rinduku? hmm..
Bagaimana dengan tidur?
Sudah kucoba, namun tetap tak bisa lelap..
Begitu lama malam sudah terlewati, menatap sendu penuh harap agar jarum jam berputar cepat. Melewati angka 1 berulang-ulang hingga hentakan langkah jemari kakinya menyemarakkan riuh degup jantung. Menggelitik kegelisahan yang berderu seperti ombak menghempas pasir putih di pantai perawan.
Kursi coklat setengah baya bersandar di tembok kuning sedikit luka.. hmm.. Entahlah.. aku harus akhiri semua.. Bantu aku Ya Rabb... tenangkan hati dan semoga aku dan orang-orang dekatku selalu ada dalam lindungan-Mu..

9/03/2009

Untukmu Terkasih...

*Rama Diandri

Gurat-gurat letih kulihat diantara ketulusanmu
Dalam kelam semu, jiwamu penuh harap
Merubah butiran peluh menjadi madu
Menjalani langkah, dingin membekap

Salahku...
Takdir menemukan diwaktu senja
Mestinya kau kujaga sejak belia
Harusnya madu itu aku yang meramu
Menuntun langkah, mengubah salju

Hmm.. Kini hanya sesal tak berasal
Sesalku mendalam disambut akal
Meski dingin, tapi hujan menyejukkan
Sebab tak mungkin takdir dipersalahkan

Tak terhitung rintik hujan hingga kumenemukanmu
Tak terbilang bara kulalui menujumu
Kurasa hening itu berdenting
Mengharapmu menguatkan taring

Semoga Masih Ada Kesempatan...

Arga Makmur 04/09/09

Munajat

*Rama Diandri

Jejak hidup masih memagut
Menancapkan duka, cambuk bahkan duri..
Seketika mendesir, dingin membalut
Aku lunglai, namun tetap menari...

Kuasa keagungan-Mu yang membuat kuat..
Al-Qawiyy-Mu pula yang membuat tekad
Tuntun aku ya Rabb...
Tertunduk, aku kembali bermunajat...

Butiran itu kembali menetes
Bersimpuh, ampun terpatri
Desiran itu kembali memoles
Sebab hanya ikhlas, sejukkan hati..

Arga Makmur 3/9/09

8/19/2009

Sesalku...

*Rama Diandri

Kudengar cerita tentang masa lalu
Anganku menyeruak, mengharu-biru
Kau terasing, menatap sedih dan ragu
Apakah kamu mengingatku?

Akhirnya sampai juga pada penyesalan
Karena ambisi dan ego menjadi lalapan
Dulu kau tak begitu
Mungkin keramaian yang membuatmu beku

Tak sedikit pun kuingin kau terasing
Tak separuh pun riuh mengharapmu terbanting
Tak juga rela melihatmu tergopoh
Terlebih, sesalku mendalam ketika kau roboh

Dulu kuingin kamu tetap disini
Namun apa lacur, nasi sudah menjadi bubur..

Membunuh Sepi

*Rama Diandri

Kalut kemelut seekor perkutut
mencoba terbang, sangkar membalut
riuh lepas sepi pun memagut
semoga tangis tak jadi patut

Bakar saja.., Ludeskan!
Bukankah api tersulut, angin berhembus?
Tapi hujan menyiram badan
menjinakkan bara, dingin terendus..

Sepi ini nyata..
Tapi hujan membuat nyaman
Tak ada lagi bara menyapa..
Sepi dibunuh di rimba hutan

7/05/2009

Tentang Rindu

*Rama Diandri

Ingin kujemput kau dalam butanya pagi
bersama kicau dan rembesan embun
tak juga dedaunan sedikit pun berduri
meniti pesona biduk pun anggun

Tak pelak burung kan terus berkicau
rembes embun perlahan jadi riak
ikan pun ikhlas disantap bangau
dedaunan rindang membentuk arak

Tapi siang begitu kacau
mentari pongah sinar menggunting
kokoh berdiri seakan mencercau
tak peduli daun yang mulai menguning

Ingin kuraih kau sebelum mentari pongah
tapi rapuhku lekang oleh takdir
tertatih berlari tak lagi basah
coba runtuhkan senja bergulir

Kini, hanya rindu di senja baku
berharap kau tak lagi membatu
disengat mentari kau pun kuat
temani aku sepanjang hayat

Argamakmur 3/7/09

6/23/2009

Munajat



"Dulu Rindu Pernah Bilang, Jika Rindu
Ingatlah Aku dalam Setiap Nafasmu"

Hmm.. Aku menghela nafas saat kembali ingat dengan kata-kata itu. Pun begitu ketika aku sadar bahwa selama ini kesalahan demi kesalahan telah kurangkum dalam penerjemahan rindu, kasih sayang bahkan cinta. Salah? Iya, sebuah kesalahan fatal. Aku telah melakukan kesalahan dalam penerjemahan kasih sayang dan cinta sesama manusia melebihi kepada Sang Khalik. Subhanallah..
Alhamdulillah ya Allah.. Kau hancurkan bangunan kesalahan itu melalui cobaan sekaligus ujian bagiku dalam menjalani hidup. Saat ini, aku mencoba menepi dan bertafakur. Menanti suatu waktu hingga kemudian kasih sayang itu tak lagi salah kuterjemahkan. Kasih sayang yang kau ridhoi.
Sesungguhnya aku sadar, tak ada yang abadi kecuali kasih sayang-Mu.. Selama ini, aku sudah bertindak bodoh. Aku sesat dalam nikmat sesaat. Aku mencoba untuk kembali dan mencoba mengingat-Mu melalui dzikir.. Allahu Akbar.., bermanja-manja dengan Sang Khalik adalah sesuatu yang menyenangkan bagiku saat ini. Aku ingin rasa ini tetap terjaga ya Allah, sehingga ketika suatu saat itu tiba, kasih sayangku terhadap dia hanya semata-mata karena ridho-Mu.. (**)

6/19/2009

Nyanyian Rindu..

*Rama Diandri

Ada Rindu Penuh Hikmah
Dalam Rinai Senyum, Dia Terpaku..
Melepas Ikhlas dalam Tulus
Menuju Harapan Tak Pernah Pupus

Rindu Itu Diam..
Entah Apa yang Terekam
Diam Bukan Berarti Bungkam..
Rindu Coba Jalani Duka dengan Lapang

Adakah Rindu-rindu Lain?
Rindu Hanya Satu...
Hanya Rindu di Kebun Hikmah
Dia Melaju, Lewati Asa Tak Bertepi

Selamat Malam Rindu...

Argamakmur 20/6/09

5/25/2009

Tak Lacur Aku

*Rama Diandri

Ada yang tersisa dari lelapnya tidur
Rinai tawa ternyata duka, tanpa sadar..
Waktu pun terus berlalu..
Membangkitkan nyawa di dalam mimpi
Menjadikan tawa kebahagiaan hakiki...

Hmm..
Akhirnya.. datang juga waktu ini
Mungkin kau masih haus...
Sementara aku, mencoba bertahan dalam galau yang indah
Lanjutkan saja, aku menikmati sayatan tandus
Teruskan saja, cabikkan kulitku hingga aku merasa asinnya darah

Lalu apa?
Kan kutuntaskan penantian..
Kemudian kuhapus mimpi dalam rinai tawa yang nyata
Lalu, kau pun tersadar..
Aku akan tetap kokoh, tegar..
Seiring darahku yang mulai mengering

*Argamakmur 26/5/09

5/24/2009

Kidung Senja..

*Rama Diandri

Mencoba berlari menuju tepian
Menggapai raga di ketinggian
Sudahlah.. Kau akan rapuh..
Tak ayal ombak kan menelanmu
Tak juga ketinggian kan menjagamu

Akhirnya.., berharap dalam keterpurukan memang lelah..
Akhiri saja senja yang mulai gelap. Langkahkan kaki menuju malam..
Bukankah malam itu sunyi?
Tak ada yang salah dengan senja ataupun malam..
Hanya pergeseran waktu dan corak kehidupan..

Sunyi kadang berarti bising, pun juga sebaliknya..
Lalu apa yang membedakan?
Hanya hati!
Tak juga malam, pagi, ataupun senja..
Sebab makna adalah ikhlas tuk menerima dan melepas..

*Argamakmur 25/5/09

5/23/2009

Sendiri

Sendiri bukan berarti mati.
Sendiri awal dari kehidupan baru.
Rasulullah diawali dengan kesendirian.
Semua kehidupan berawal dari sendiri dan kepayahan,
dan akan kembali sendiri dalam keadaan MATI.
====
Jika sendiri pun tak abadi, aku lelah...

5/21/2009

'Hilang'

"Tak ada lagi perhatianmu dan tak ada lagi yang ngomel ketika malam menjelang pagi, ternyata aku masih ada di luar. Entah apa, yang pasti aku merasa semuanya memang benar-benar telah berakhir,"

Ada rindu, namun terkekang dan tak bisa kuucap. Hanya rintihan hati dan senandung merdu kualunkan lewat dawai-dawai semu yang sebenarnya aku juga tak tahu. Aku mencoba tegar dan enjoy tuk jalani semua ini. Aku mencoba tuk selalu kokoh, namun jauh didasar hatiku, aku sebenarnya rapuh.

Senyumku, tawaku dan rinai kebahagiaan yang kutampakkan hanya lelucon dan tak lebih dari sebuah adegan layaknya di sinetron. Hmm... Ada yang hilang!

5/05/2009

Luka Disini

Menikmati lantunan lagu anyarnya ungu, asyik ya.. Walaupun cuma modal download.. hehe
Sembari mengingat semua yang udah berlalu.. yang udah lama berlalu pun bahkan baru seperti kemarin.. Mengagumkan memang!
Tak terasa, dengan hiruk-pikuk kehidupan ternyata kita dihadapkan dengan permasalahan hidup yang terkadang pelik. Meninggalkan sesuatu yang sudah kita suka, berat memang. Namun jika itu sebuah konsekwensi, harus tetap dilakukan toh?
Luka, sedih, semua ada.. Menari dalam khayal, menerawang dalam kenang, mereka-reka dalam gelap... (Tak nyaman!) Tapi itulah hidup. Ada yang bilang hidup adalah pilihan. Tapi bukankah pilihan itu jika ada yang dipilih?
Terpuruk, melintasi semua nyata yang terasa berat. Melangkah pun kakiku kaku. Jangankan tuk menari. Hanya tarian ilusi, abstrak dan harapan. Melambai pun tanganku bak keram, bak sebuah kapal kandas terhalang karang. Mungkinkah semua berlalu? kurasa tidak! Yang ada hanya hancur, porak-poranda ditelan ombak, diantara bebatuan karang terjal dan kejam.
Lalu Apa?
Kau dan aku coba menari indah di pesisiran pasir putih membelai lautan... Mampukah bertahan di tengah kejamnya gelombang? Lagu kasih kita nyanyikan, kata keramat pun kita ungkapkan. Buatku, hanya dirimu peneman bicara ketika pilu..

3/31/2009

Argamakmur, 1 April


Malam ini..
Kembali sadari aku sendiri
Gelap ini
Kembali sadari engkau telah pergi
Malam ini
Kata hati harus terpenuhi
Gelap ini
Kata hati ingin kau kembali
Hembus dinginnya angin lautan
tak hilang ditelan bergelas-gelas arak
yang kutenggakkan…ooo….
Malam ini
Kubernyanyi lepas isi hati
Gelap ini
Kuucap berjuta kata maki.. Malam ini..Bersama bulan aku menari
Gelap ini.. Di tepi pantai aku menangis..Tanpa dirimu dekat dimataku
Aku bagai ikan tanpa air... Tanpa dirimu ada disisiku..Aku bagai hiu tanpa taring.. Tanpa dirimu dekap dipelukku.. Aku bagai pantai tanpa lautan.. Kembalilah…Kasih ooo Kembalilah kasih.. (**)

Hmm...
Menikmati lagu Anyer 10 Maret sembari ditemani secangkir kopi dan sebatang rokok, sedikit mungkin bagi sebagian kita memang menyenangkan. Asyik..! Mengenang semua yang sudah berlalu, terkadang cukup membuat kita kembali menjadi muda. hehe..
Kadang sedih, lucu, bahagia, ah...semuanya berkecamuk. Menerawang, melintas tanpa batas. Mengenang semua pilu, duka, kesedihan waktu lalu, kadang bisa menjadi sebuah kenaifan bahkan menjadi sebuah lelucon..
Entahlah.., tampaknya malam ini aku larut. Lirih dalam semua rasa dan mencoba menjadikan kesedihan menjadi suatu lelucon atau bahkan bahagia.
Sulit memang diungkapkan ketika kita harus beranjak dari suatu tempat yang selama ini sudah kita anggap nyaman. Begitu juga denganku kini, melepasmu bagiku hal terberat saat ini yang harus kulakukan. Tapi inilah sebuah konsekwensi. Ketika siap untuk memiliki, berarti kita juga siap untuk kehilangan. Tinggal menunggu kapan hal itu terjadi..
Menanti sebuah ketidakpastian, telah kuanggap sebagai sebuah kesalahan. Tanpa keseriusan, tampaknya memang sulit tuk menggapai sesuatu. Kadang, ketika kita sudah sungguh-sungguh pun sesuatu itu sulit dan mungkin tak bisa digapai. Apalagi tidak dengan sungguh-sungguh! Iya toh?
Terlepas dari itu semua, inilah perjalanan hidup. Semua ada hikmah, semua ada makna dan semua penuh arti. Mungkin seorang bocah merasa sangat kehilangan saat mainannya rusak dan tak bisa digunakan lagi. Tapi ketika sudah mendapat mainan baru yang lebih bagus, sang bocah pun kembali sumringah. Logikanya, ketika bocah tadi masih asyik dengan mainan lama, dia takkan sadar bahwa ada mainan lain yang lebih sempurna dan lebih asyik untuk dimainkan ketika melalui hari-harinya.
Ya, begitulah hidup.. Perputaran itu nyata! Intinya, tak ada yang abadi! Bukankah keabadian memang ada sesudah mati?
Sebagai hamba yang sedang menjalani perputaran, mestinya memang kita tak tertawa ketika bahagia dan tak menangis dikala duka. Hadapi dan jadilah sang pemenang!