Tampilkan postingan dengan label syair. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label syair. Tampilkan semua postingan

6/27/2010

Hujan; Sahabat Mantan Kekasih

AKU menemukan setitik harapan ketika senja dibalut rinai. Ruang hampa seakan terisi saat kabar menyeringai tentang perasaan awal dari beradu pandang dan semua tentang hidup ketika jalan takdir mempertemukan kita kala itu. Batas sepi telah terkotak dengan tapal kehidupan masa depan membentang. Aku hidup, kembali mulai mengeja satu per satu mimpi yang sempat terlewati karena galau. Ya, karena kau ada di sini. Bersamaku, menghitung rintik hujan setiap senja tiba.
Kita hidup dalam satu musim, hujan. Mungkin dengan kesamaan itu, kita lebih mengerti atas sikap yang diperagakan. Layaknya hidup, sandiwara memang. Aku yakin kita memiliki peran berbeda, tapi saling melengkapi. Jika kemudian satu diantara tulang rusukku itu adalah kamu, keikhlasan sebenar sudah terpatri ketika detik pertama aku melihat keriting rambutmu.
Tulus, selayaknya setiap kata yang kau ungkapkan menjelang keberangkatanmu. Beberapa tanggal kemudian terlewati, hingga kemudian rindu membuncah. Meski asing, aku tak merasa terasing. Karena ternyata rasa itu juga kau rasakan seiring gelap kemudian berganti terang, dan begitu seterusnya.
Inilah aku. Aku yang mencoba untuk yakin bahwa yang mencari akan menemukan, dan yang pergi akan kembali. Membenarkan setiap sisi kesalahan dan mencoba untuk percaya kepergianmu memang akan kembali untukku. Sementara aku telah menemukanmu diantara pekat, pahit dan keterasingan masa lalu.
Hadirmu menyejukkan hati. Begitu selalu ku enduskan pada setiap nafas, tepat di sisi telinga kananmu. Tentu kau masih ingat bukan? Hari-hari itu memang indah.
"Jika kemudian kau adalah pendampingku, ku harap hatimu tetap terjaga. Dan biarkan selamanya tangan ini selalu ada di pundakmu," begitu katamu. Itulah alasan lain yang kemudian membuat aku percaya, pertemuan kita adalah awal dari perjuangan hidup, selain karena keriting rambutmu.

***

Musim kini berganti. Kepergianmu juga telah membuat perbedaan masa dan musim yang selama ini kita jalani bersama. Tetap hujan, namun kali ini petir menyambar. Suara teduh kemudian berganti gaduh dan kita tak lagi bisa saling melengkapi. Mungkin aku telah keliru meluruskan tulang rusuk itu. Keliru, dan kesalahanpun sampai saat ini tak penting untuk diperjelas. Karena memang pengadilan itu ternyata tak ada. Tentu jika ada, aku akan mencari advokat kondang untuk memperjuangkan perasaanku kala itu. Tapi gelap tetaplah gelap, begitu juga dengan terang. Karena aku yakin, duka kita sekalipun tak akan menghalangi terbitnya matahari esok. Bagiku, bersamamu hanya sekeping perjalanan hidup yang masih terus berlalu dan tak seorang pun tahu kemana, dan apa muara sebenarnya.
Rien, kuakhiri kebersamaan denganmu. Ternyata kita hanya berada pada satu garis dalam semusim. Semoga kau bisa menjalani setiap konsekuensi pilihanmu.

***

Rumit memang untuk menyatukan perbedaan. Dengan alasan itu pula terkadang sendiri itu nyaman, meski harus diakui kadang sepi menyapa saat sela waktu jenuh. Aku tetap survive. Kembali merangkai benang dan bercinta dengan logika. Bukankah indah akan tiba pada saatnya? Pencarian kadang memang butuh waktu dan melelahkan.
Adalah sebuah pertemuan tak terduga. Aku yakin ini juga merupakan sebentuk kepingan hidup yang entah akan berujung apa. Tentu jika dia ibarat pohon randu, maka kapuk akan bertebaran ketika kulitnya mulai layu dan tak mampu menahan desakan keinginan untuk terbang bersama angin.
"Ya, masih ingat. Dulu, Rien banyak bercerita tentangmu," katanya datar, gadis berkerudung hitam itu kemudian melemparkan senyum.
"Dulu, mungkin iya. Kini aku hanya mampu menghitung rintik hujan sendiri, tentu tak banyak yang kudapat. Bagaimana dengan arjunamu, kabarnya dia baru saja lulus perwira?" aku menyela membalas senyum sedikit geli dengan kata-kataku sendiri.
"Hmm.. Sudahlah, ternyata waktu hujan memang tak selalu sama. Logika kita terkadang tak sama dengan apa yang dipikirkan orang lain. Enam bulan lalu, dia memilih untuk pergi dari kehidupanku," dia mencoba tetap tampak tegar.
Aku merasakan ada kesedihan tersendiri ketika lirihmu seakan putus asa. Embun, begitu kau akrab kusapa. Aku mengenalmu justru dari Rien, sebuah nama tentang masa lalu yang mengajarkan aku tentang perjuangan dan keinginan yang tak dapat diraih. Embun, perempuan berkerudung dengan tutur kata lembut menyejukkan.
Rien dan Embun memang sempat akrab. Mereka satu kampus dan sering menghabiskan waktu bersama. Tapi kemudian waktu menjawab keakraban mereka karena Rien memilih untuk menikah, setelah beberapa tahun melepas cerita denganku. Selanjutnya, mereka kemudian disibukkan dengan aktivitas masing-masing. Begitu juga denganku.
Embun masih berdiri dibawah teduhnya balkon ruko dan mencoba untuk tampak akrab denganku setelah sekian tahun kami dipisahkan waktu. Gerimis kala itu. Di sudut kiri kami, tampak ibu-ibu penjual gorengan dengan seorang anak gadisnya yang mencoba melayani setiap pembeli berpayung.
Hening, hanya titik gerimis yang kemudian berubah menjadi butiran hujan diiringi riuh lalu-lalang kendaraan. Sementara itu, aku mencoba untuk melepaskan kepenatannya atas masa lalu dengan menggiring langkahnya menuju pondok gorengan pada pojok terminal. Kami kemudian larut dalam cerita. Tawa dan keakraban pun mulai tampak ketika tanpa ragu aku mencoba menggodanya sembari memanggil dengan sapaan Zaskia.
"Mirip sih. Boleh ya, mulai sekarang aku panggil kamu Zaskia, tapi tanpa Adya Mecca, gimana?" kelakarku sembari tertawa lebar.
"Enak aja. Potong tumpeng tau, ganti nama orang sembarangan," Embun membalas tawaku dengan senyum terindah.
Meski terdengar keberatan, tapi aku yakin sebenarnya Embun senang ketika aku panggil Zaskia. Jadilah mulai saat itu panggilan Zaskia melekat padanya, dan itu hanya aku yang memanggil.

***

Tak sedikit terlintas. Ternyata pertemuanku dengan Zaskia di pondok gorengan itu adalah sebuah awal dan akhir pertemuan di kota ini. Sebab beberapa bulan kemudian dia harus pulang ke kotanya setelah rampung menyelesaikan kuliah dan resmi menyandang gelar sarjana. Dia tak sempat berpamitan langsung karena mengaku buru-buru dan dijemput keluarga. Aku juga mengetahuinya setelah dia mengirimkan pesan ke handphone dan mengatakan, saat itu dia sudah berada di kota kelahirannya.
Bagiku tak masalah. Karena komunikasi selama ini sudah cukup membuktikan ada perasaan lain, setelah pertemuan itu. Meski jauh, kami tetap saling memberi kabar diantara kesibukan.
Berat sebenarnya ingin kuungkapkan kalau aku menaruh simpati pada Zaskia. Hanya dorongan keinginan dan harapan cukup kuat seakan memaksa, hingga kemudian aku beranikan diri tuk menyatakan apa yang sebenarnya selama ini aku pendam. Aku jatuh hati pada Embun, ya Zaskiaku.
"Aku bukan sosok Rien, dan aku tak jamin bisa menemanimu menghitung rintik hujan seperti dia," ujar Zaskia di ujung telepon.
"Tapi setidaknya kau hadir pada waktu tepat. Saat keterasingan dan bara api itu mulai padam karena hujan," aku kembali meyakinkan.
"Tapi semuanya sudah terlambat. Rien telah mengisi hatimu lebih dulu, dan aku bukan dia. Kamu harus tahu itu."
"Lalu apakah sesuatu yang terlambat tak perlu dimulai? Semua telah ku perjelas, telah rampung dalam setiap kata. Mengalir dalam mata hati yang berbuah ketulusan. Masihkah kau ragu Zaskiaku?."
Hanya diam, dan aku yakin diam ternyata bukanlah jawaban. Karena memang dia masih benar-benar ragu.
"Jarak yang tak mungkin membuat kita bersama," katanya kemudian.
"Bukankah niat adalah awal? Jika niat sudah terpatri, ku yakin semua akan ada cara," ujarku tak mau kalah.
Aku masih mencoba untuk meyakinkan Zaskia, bahkan berbulan-bulan itu terjadi. Hasrat ingin melukiskan rindu tak dapat kucegah. Namun bagaimana bisa kulukiskan rindu jika kanvas di hatinya masih enggan dia buka. Bagaimana pula aku akan datang menjemputnya, jika sedetik saja berlalu dia kembali ragu.
Aku mengenalnya lewat syair, kisah raut wajah segala harap tentang hidup dan mati. Aku mengaguminya karena pikiran dan kegigihan, memberi suatu pelajaran tentang perjuangan. Kini, esok dan akan datang. Meski jauh dan mungkin bukan untukku, semua telah terpatri indah. Hanya hayat dan semangatnya yang mampu membangunkan dari lelap galau.
Desir angin pagi itu adalah getah musim di akhir Juni. Meleleh pada akar masa lalu dan bersarang muasal pada nista terindah. Setidaknya, dengan mengenal Zaskia aku telah melangkah dan meninggalkan masa lalu. Meski ku yakin tak selamanya jalan itu lurus. Kupasrahkan segala asa di setiap relung hati, ku tumbuhkan suburnya rindu dan kupinang dia yang ku datangi pada setiap helai nafas. Bercerita tentang keindahan, hingga senja perlahan lindap dan hujan menyegarkan. Karena aku yakin, ketika hujan ada lagu yang hanya bisa didengar oleh mereka yang rindu.

***

Hari ini, hujan kembali menggelitik gelisah. Menderu seperti ombak menghempas pasir putih di pantai perawan. Sementara aku terdiam di salah satu bangku bis tua yang akan menghantarkanku ke kotamu, Zaskiaku. Haru, penuh harap. Tak kuhiraukan sekelebatan pecahan-pecahan air yang menyentuh dinding kaca bis yang seakan merembes mengenai wajah. Tubuhku terpaku pada jendela serambi mobil. Butir-butir air itu terus turun, musim hujan kali ini serasa menghentakkan. Menekan batin meronta, mencoba merengkuh sang perempuan yang mulai getir karena dingin.
Kaukah perempuan itu Zaskiaku? Hadir di relung hati, menyibak sepi dan mencoba membuka mimpi. Hidup di tengah-tengah keramaian, namun jiwamu tetap damai. Menawarkan relung demi relung harap dan berkomitmen melihat keindahan serta hadapi duka bersama. Semoga saja.
Apapun keputusanmu saat aku tiba di halaman, setidaknya aku sudah siap dan yakin karena Tuhan selalu punya cara bagaimana pertemuan terjadi, begitupun Dia juga punya jalan perpisahan ketika harus terjadi. (**)

Arga Makmur, 02.51 WIB, 24 Juni 2010

9/03/2009

Untukmu Terkasih...

*Rama Diandri

Gurat-gurat letih kulihat diantara ketulusanmu
Dalam kelam semu, jiwamu penuh harap
Merubah butiran peluh menjadi madu
Menjalani langkah, dingin membekap

Salahku...
Takdir menemukan diwaktu senja
Mestinya kau kujaga sejak belia
Harusnya madu itu aku yang meramu
Menuntun langkah, mengubah salju

Hmm.. Kini hanya sesal tak berasal
Sesalku mendalam disambut akal
Meski dingin, tapi hujan menyejukkan
Sebab tak mungkin takdir dipersalahkan

Tak terhitung rintik hujan hingga kumenemukanmu
Tak terbilang bara kulalui menujumu
Kurasa hening itu berdenting
Mengharapmu menguatkan taring

Semoga Masih Ada Kesempatan...

Arga Makmur 04/09/09

Munajat

*Rama Diandri

Jejak hidup masih memagut
Menancapkan duka, cambuk bahkan duri..
Seketika mendesir, dingin membalut
Aku lunglai, namun tetap menari...

Kuasa keagungan-Mu yang membuat kuat..
Al-Qawiyy-Mu pula yang membuat tekad
Tuntun aku ya Rabb...
Tertunduk, aku kembali bermunajat...

Butiran itu kembali menetes
Bersimpuh, ampun terpatri
Desiran itu kembali memoles
Sebab hanya ikhlas, sejukkan hati..

Arga Makmur 3/9/09

8/19/2009

Sesalku...

*Rama Diandri

Kudengar cerita tentang masa lalu
Anganku menyeruak, mengharu-biru
Kau terasing, menatap sedih dan ragu
Apakah kamu mengingatku?

Akhirnya sampai juga pada penyesalan
Karena ambisi dan ego menjadi lalapan
Dulu kau tak begitu
Mungkin keramaian yang membuatmu beku

Tak sedikit pun kuingin kau terasing
Tak separuh pun riuh mengharapmu terbanting
Tak juga rela melihatmu tergopoh
Terlebih, sesalku mendalam ketika kau roboh

Dulu kuingin kamu tetap disini
Namun apa lacur, nasi sudah menjadi bubur..

Membunuh Sepi

*Rama Diandri

Kalut kemelut seekor perkutut
mencoba terbang, sangkar membalut
riuh lepas sepi pun memagut
semoga tangis tak jadi patut

Bakar saja.., Ludeskan!
Bukankah api tersulut, angin berhembus?
Tapi hujan menyiram badan
menjinakkan bara, dingin terendus..

Sepi ini nyata..
Tapi hujan membuat nyaman
Tak ada lagi bara menyapa..
Sepi dibunuh di rimba hutan

7/05/2009

Tentang Rindu

*Rama Diandri

Ingin kujemput kau dalam butanya pagi
bersama kicau dan rembesan embun
tak juga dedaunan sedikit pun berduri
meniti pesona biduk pun anggun

Tak pelak burung kan terus berkicau
rembes embun perlahan jadi riak
ikan pun ikhlas disantap bangau
dedaunan rindang membentuk arak

Tapi siang begitu kacau
mentari pongah sinar menggunting
kokoh berdiri seakan mencercau
tak peduli daun yang mulai menguning

Ingin kuraih kau sebelum mentari pongah
tapi rapuhku lekang oleh takdir
tertatih berlari tak lagi basah
coba runtuhkan senja bergulir

Kini, hanya rindu di senja baku
berharap kau tak lagi membatu
disengat mentari kau pun kuat
temani aku sepanjang hayat

Argamakmur 3/7/09

6/19/2009

Nyanyian Rindu..

*Rama Diandri

Ada Rindu Penuh Hikmah
Dalam Rinai Senyum, Dia Terpaku..
Melepas Ikhlas dalam Tulus
Menuju Harapan Tak Pernah Pupus

Rindu Itu Diam..
Entah Apa yang Terekam
Diam Bukan Berarti Bungkam..
Rindu Coba Jalani Duka dengan Lapang

Adakah Rindu-rindu Lain?
Rindu Hanya Satu...
Hanya Rindu di Kebun Hikmah
Dia Melaju, Lewati Asa Tak Bertepi

Selamat Malam Rindu...

Argamakmur 20/6/09

6/15/2009

Dan Malam pun Ikhlas..

*Rama Diandri

Berarak Laju, Air Berliku
Merunut Kisah Berpayung Duka
Hati Memang Payah!
Tak Peduli Ragu Akal pun Datang

Berlalu Dalam Kegelapan
Menanti Cahaya Tak Kunjung Datang
Apakah Pagi Telah Terhenti oleh Malam?
Kurasa malam Begitu Lama dan Menyesakkan..

Biduk Ini Terasa Melesak
Tak Kuasa Membendung, Lalu Tumpah
Kemudian Rinai Perlahan Berganti
Dan Pagi pun Tiba, Seiring Mentari

Aku Lega, Lepas Terkendali
Ternyata Galau Itu Memang Indah...

*Arga Makmur 16/06/09

5/25/2009

Tak Lacur Aku

*Rama Diandri

Ada yang tersisa dari lelapnya tidur
Rinai tawa ternyata duka, tanpa sadar..
Waktu pun terus berlalu..
Membangkitkan nyawa di dalam mimpi
Menjadikan tawa kebahagiaan hakiki...

Hmm..
Akhirnya.. datang juga waktu ini
Mungkin kau masih haus...
Sementara aku, mencoba bertahan dalam galau yang indah
Lanjutkan saja, aku menikmati sayatan tandus
Teruskan saja, cabikkan kulitku hingga aku merasa asinnya darah

Lalu apa?
Kan kutuntaskan penantian..
Kemudian kuhapus mimpi dalam rinai tawa yang nyata
Lalu, kau pun tersadar..
Aku akan tetap kokoh, tegar..
Seiring darahku yang mulai mengering

*Argamakmur 26/5/09

5/24/2009

Kidung Senja..

*Rama Diandri

Mencoba berlari menuju tepian
Menggapai raga di ketinggian
Sudahlah.. Kau akan rapuh..
Tak ayal ombak kan menelanmu
Tak juga ketinggian kan menjagamu

Akhirnya.., berharap dalam keterpurukan memang lelah..
Akhiri saja senja yang mulai gelap. Langkahkan kaki menuju malam..
Bukankah malam itu sunyi?
Tak ada yang salah dengan senja ataupun malam..
Hanya pergeseran waktu dan corak kehidupan..

Sunyi kadang berarti bising, pun juga sebaliknya..
Lalu apa yang membedakan?
Hanya hati!
Tak juga malam, pagi, ataupun senja..
Sebab makna adalah ikhlas tuk menerima dan melepas..

*Argamakmur 25/5/09