Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan

4/10/2009

Pemilu, Pemilu, pemilu...

Wadduh...Sibuk rek...Bener2 sibuk...

Bingung?

Kebingungan tersebut sangat beralasan. Sebab pemilu kali ini jauh berbeda dari pemilu-pemilu sebelumnya. Bahkan ini kali pertama perubahan tatacara pemilu di Indonesia yang selama ini dikenal dengan coblos atau melobangi lambang partai dan, nama atau foto calon. 
Pemilu sekarang, tidak lagi menggunakan cara klasik tersebut. Sistemnya tetap saja, namun ada tatacara yang sedikit dimodifikasi, yakni dari cara mencoblos ke mencontreng, atau mencentang, atau conteng.
Bagi orang tua yang kebetulan tidak bisa baca tulis, cara yang sekarang betul-betul rumit bagi mereka. Kerumitan itu ditambah lagi dengan sosiasisasi yang minim dari penyelenggara pemilu maupun pihak-pihak yang berkompeten dengan pemilu.
Sosialisasi itu penting. Terutama untuk menekan kesalahan sehingga suara menjadi rusak atau tidak sah. Dengan cara mencoblos saja, banyak suara yang rusak dan dianggap tidak sah. Ada yang salah coblos, coblos ganda dan lain-lain. 
Dengan mencontreng yang rumit sekarang, diprediksi suara yang tidak sah atau rusak persentasenya akan semakin meningkat. Kondisi itu diperparah lagi dengan sosialisasi yang minim tadi.
Penyelenggara pemilu seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) sibuk dengan masalah mereka masing-masing. Sehingga waktu mereka habis tersita untuk mengenahkan persoalan internal maupun eksternal.
Internal menyangkut personel yang tidak siap bahkan belum belum dilantik hingga pada persoalan SDM yang pas-pasan. Eksternal, mulai dari persoalan parpol yang begitu banyak sebagai kontestan pemilu hingga pada persoalan klasik, yakni masalah dana yang selalu menjadi sumber ketegangan mereka akhir-akhir ini.
Demikian juga dengan Panwaslu. Selain dibebani masalah internal dan eksternal tadi, kini mereka justru sibuk mengurus caleg yang sudah gencar melakukan sosialisasi kepada pemilih atau masyarakat luas. Harusnya, Panwaslu berterima kasih kepada para caleg secara mandiri dapat melakukan sosialisasi baik lewat iklan, spanduk, bahilo maupun pamflet-pamflet. 
Tapi di lapangan, mereka justru sibuk mendikte para caleg kalau-kalau melakukan pelanggaran kampanye. Sibuk menertibkan baliho caleg yang terpasang di tempat umum. Mestinya dengan kondisi mereka yang terbatas dalam melakukan sosialisasi, Panwaslu cukup menertibkan baliho caleg yang dipasang dan membahayakan penguna jalan atau yang tumbang saja. Sebab di baliho itu sudah jelas sosialisasi bagaimana cara mencontreng yang benar. 
Kompleksnya persoalan menjelang pemilu ini, besar kemungkinan kualitas pemilu akan rendah. Reformasi yang dicita-citakan bisa merubah keadaan menjadi lebih baik bakal tidak terjadi. Sebab masyarakat dengan kondisi yang serba gelap karena tak ada sosialiasi pemilu, akan tetap menggunakan hak pilihnya hanya mendengar kata orang, sementara mereka sendiri tak mengerti bagaimana supaya bisa memilih wakil yang betul-betul mereka percaya. 
Kalau begini jadinya, maka masyarakat terutama yang tidak bisa baca tulis besar kemungkinan akan kehilangan suaranya, selain salah cara memilihnya, mungkin surat suara rusak. Nah dengan waktu yang tersisa ini, mari semua stakeholder melakukan sosialisasi sesuai kapasitasnya. Sebab kita ingin pemilu berkualiatas. Pemilu berkualitas menghasilkan wakil yang berkualitas pula. Semoga. (**)

1/15/2009

"MUSUH"

AKU pernah baca di salah satu buku. Lupa aku judulnya apa, namun dari petikan kalimatnya aku ingat dengan kata-kata "Jadikanlah rekan kerjamu ibarat Musuh! Jika dia lengah, seranglah dengan strategi kemenangan,"
Walaupun sang penulis buku aku yakin lebih cerdas, tapi ketika membaca kata-kata itu ada sesuatu yang menjadi ganjalan dalam hati. Secara gamblang aku menilai, sang penulis merupakan tipe orang ambisius (Mungkin). Tapi ketika hal itu aku pikir dan ku analisa matang-matang, tak selamanya kata itu akan menghantarkan kita menjadi sukses.
Bukankah kesuksesan dapat kita raih dari hasil kerja dan kualitas kita? bukan dengan memusuhi orang toh? atau dengan selalu menyerang ketika lawan lengah menjadi senjata pamungkas? tentu tidak kan?!
Analisa dan kata hatiku sebenarnya berkata, tak ada sesuatu lain yang bisa menyejukan hati ketika kita bisa bertindak bijak dalam kondisi apa pun. Berlaku bijak dan bersikap logis pada siapa pun lawan bicara kita merupakan sesuatu yang paling jitu dalam menjalankan misi. Dengan bijak, maka muncul ketenangan batin. Dengan ketenangan batin, tentu saja kita bisa menyelesaikan tugas dan kewajiban dengan ikhlas. Apabila ikhlas itu sudah ada, tugas dan kewajiban kita tentu akan terselesaikan dengan baik. Jika tugas dan kewjiban sudah terselesaikan dengan baik, itu artinya kita sukses. Gimana menurut saudara-saudara? hmm...
Sekarang bandingkan, jika kita memanfaatkan kelemahan orang lain untuk kemenangan pribadi. Saya yakin, langkah ini akan mengakibatkan kegalauan hati. Kita merasa terus diserang (karena terbiasa menyerang). Padahal sesungguhnya orang di sekitar kita biasa saja. Lalu, apakah tugas dan kewajiban bisa terselesaikan dengan baik jika hati kita dalam keadaan galau? Lalu, dimana letak definisi sukses ketika kita menganut paham ini?
Perlu digaris bawahi, kita hidup hanya sesaat. Kesuksesan tidak hanya sebatas dengan pengertian duniawi. Dengan berbuat baik dan berlaku bijak kepada orang-orang di sekitar kita, itu artinya kita juga telah menanamkan benih kebaikan yang akan kita petik buah kesuksesannya pada saat di akhirat nanti (Bukan begitu, pak haji? hehe..)
Bukan berarti dengan saya menulis seperti ini saya men-justifikasi kalau saya sudah menjadi orang bijak. Namun setidaknya, menjadi orang bijak merupakan buah dari proses pembelajaran yang tak pernah berhenti secara ikhlas untuk mendapat ridho Allah SWT. Itulah tujuan hakiki yang sebenarnya menjadi tujuan hidup setiap orang.
Dengan mencoba untuk bijak berarti kita juga telah mencoba untuk menjadi mentari yang menerangi, seperti bintang yang menghiasi gelap malam, laksana siraman air hujan saat kemarau datang. Indah kan? Sejuk, pemberi lentera hidup dan menyinari hati yang suram.
Mari kita galang kebersamaan untuk kepentingan bersama. Bukan dengan merasa sudah benar sendiri dan kitalah pemenang dan paling baik diantara semua. Bukankah semua orang punya kelebihan dan kekurangan? Dengan menyadari kelemahan dan mengakui keunggulan teman, berarti kita sudah berproses untuk menjadi orang bijak. (rew)

1/13/2009

Antara Jujur dan Kebobrokan!

BICARA soal jujur, tentu saja pikiran kita mengarah kepada apa yang telah dilakukan dan apa yang sebenarnya terjadi. FAKTA! ya, sebuah kenyataan yang harus diungkap kendati itu terasa berat.
Jujur itu terkadang berat. Apalagi kalau dengan kejujuran kita berarti mempertaruhkan harga diri. Kejujuran bisa juga diartikan sebuah sifat yang akan menghasilkan sebuah sikap. Sikap inilah nanti yang akan dinilai orang-orang di sekeliling kita.
Sebagian ada yang berpendapat kejujuran adalah modal utama dalam hidup. Walau terkadang (mungkin) kejujuran bisa juga lebih sering terkubur dengan kebohongan. Namun walau bagaimana pun juga, jujur akan menghasilkan buah manis. Jujur akan berbuah kebenaran. Sebaliknya, kebohongan akan berbuah nista.
Tak jarang orang-orang akan menutupi kebohongannya dengan kembali berbohong. Semakin ditutupi, maka kebohongan itu akan semakin banyak. Bagi mereka yg punya jiwa besar, tentu saja mereka berpikir tak ada untungnya untuk berbohong. Dengan berbohong, itu sama halnya dengan kita menggali kuburan kita sendiri. Semakin banyak kebohongan itu terjadi, semakin dalam pula lubang kenistaan itu akan kita buat.
Tak ada kata lain. Jujur adalah harga mati dan tak ada penawaran!
Lebih Jauh, kejujuran bagi bangsa kita saat ini merupakan sumber ketakutan yang mampu menyebabkan gempa sosial dan kultural. Bayangkanlah jika secara kolektif rakyat berlaku jujur, maka praktik korupsi yang membiak di jejaring kekuasan dari tingkat elite hingga pegawai rendah di kantor kelurahan akan tampak dengan mata telanjang. Di mana para penipu rakyat itu hendak menyembunyikan muka, jika semuanya sudah terpampang jelas?
Inilah kenyataan bagi manusia di negeri yang menganggap dusta birokrat terhadap rakyat sekadar rahasia umum. Dan, merasa korupsi cuma sebuah laku yang diterima sebagai kewajaran oleh kesadaran bersama. Kejujuran untuk membongkar pencurian uang negara akan dinilai sebagai prinsip ganjil. Birokrat yang tak melakukan korupsi dicemooh sebagai pihak yang menentang kebiasaan.
Terkuaknya sejumlah kasus korupsi yang dilakukan jaksa dan anggota parlemen akhir-akhir ini menghadirkan ketegangan di benak rakyat. Di satu sisi, kepercayaan terhadap alat negara menurun karena terbongkarnya kejahatan maling uang negara yang dilakukan jaksa dan anggota parlemen, di sisi lain rakyat juga hanya bisa berharap semoga pembongkaran korupsi itu dilandasi kejujuran.(**)


1/02/2009

Pilihan Alternatif

SAAT Semua lagi sibuk membicarakan pilih yang tua atau yang muda. Dalam proses politik menuju Pemilu 2009, nampaknya ''jualan'' kelompok tua dan muda ini memang lebih menarik perhatian pemilih, dibandingkan ''jualan'' lainnya, seperti bebas KKN, atau bersih dan merakyat. Dua kelompok, TUA dan MUDA mulai menciptakan berbagai isu yang menarik simpati. PILIH YANG TUA atau PILIH YANG MUDA. Begitulah, kira-kira slogan yang harus dijawab para pemilih. Semua orang berebut keyakinan untuk memastikan TUA atau MUDA yang baik untuk memimpin negeri ini.
Tapi persoalan sebenarnya, bukan pada TUA atau MUDA yang baik memimpin. Mungkin perlu kita pertanyakan pada masing-masing kelompok, sejauh mana mereka telah berbuat untuk negeri ini.
Yang MUDA, apa yang sudah engkau lakukan?, adakah pernah menyikapi persoalan yang berpolemik saat ini, atau pernahkah turun membantu persoalan rakyat?
Yang TUA, selama engkau ada, apa persoalan negara ini yang pernah engkau selesaikan--atau paling tidak pernah diusahakan untuk diselesaikan?--.
Semua pasti menjawab bahwa mereka pernah terlibat dalam berbagai persoalan yang menghimpit negara ini. Semua pun pasti akan berusaha memberikan asumsi-asumsi diplomatis kepada rakyat dengan dalih, dengan mencalon saat ini merupakan bentuk kepedulian dan usaha mereka untuk terlibat menyelesaikan persoalan.
Sebenarnya, yang dibutuhkan saat ini adalah PILIHAN ALTERNATIF. Figur baru, terserah apakah TUA atau MUDA, namun terbebas dari kepentingan-kepentingan politik sesaat. Karena sebenarnya, persoalan yang ada saat ini harus diselesaikan oleh semua lapisan rakyat. Bukan MUDA atau TUA yang akan menyelesaikannya.
Percuma toh, kalau MUDA menjadi pemimpin tapi tidak punya ''kiblat'' untuk menyelesaikan persoalan. Begitupun dengan yang TUA, memimpin tapi sudah mendekati uzur, atau pernah maju dan ternyata ''gagal''. Yang harus disiasati, jangan pernah terjebak dalam isu TUA atau MUDA, apalagi sampai terpilih POLITISI BUSUK.!!!(**)